• Makalah Filsafat Aliran Positivisme

    MAKALAH

    Oleh:

    Manahan Harahap

     BAB I

    PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang

    Mencari sesuatu kebenaran merupakan salah satu tujuan para filosof, dalam mencari kebenaran ini harus melalu cara berpikir yang sistematis. Dengan demikin dalam filsafat ilmu ditandai dengan adanya dimensi-dimensi didalamnya untuk mencapai suatu kebenaran. Dalam tiap dimensi mempunyai tokoh tersendiri dan cara pikir yang berbeda untuk mencapai kebenaran itu sendiri.

    Adapun dimensi-dimensi tersebut adalah, Ontologi, Evistemologi, dan Aksiologi. Ketiga dimensi ini mempunyai tokoh dan cara yang berbeda-beda untuk mencari sesuatu kebenaran teritama dalam filsafat ilmu.

    Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes dan para penerusnya mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.

    Lebih jelasnya lagi tentang positivisme ini akan kami jelaskan dalam makalah yang singkat ini.

    B.     Rumusan Masalah

    ü  Apa pengertian positivisme ?

    ü  Bagaimana filsafat Aguste comte?

    ü  Bagaimana metode Aguste Comte?

     

    C.     Tujun

    Tujuan dibuatnya makalah  ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai bagaimana manusia berpikir positivisme, baik di dalam sistem pembelajaran  Memberikan pemahaman tentang apa itu Positivisme, sejarah positivisme, tokoh-tokoh penganut paham positivisme, khususnya dalam mata kuliah filsafat ilmu.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.    PENGERTIAN POSITIVISME

    Positivisme diperkenalkan oleh Aguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utama Aguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive. Positivisme berasal dari kata "positif". Kata "positif" di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.[1] Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Sedangkan menurut istilah positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Atau jaga bisa diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.[2]

    Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam pencapaian kebenarannya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi, dengan kata lain mengagungkan sains tanpa memikirkan metafisik atau Segala hal diluar itu sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.

    Untuk memahami fisafat positivisme Auguste Comte dalam pandangan umum dan khususnya dalam pengertian pengembangan, Perlu sekiranya memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan “positif”menurutAuguste Comte: [3]

    1.      Sebagai lawan atau kebalikan atas sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian “posiitif” pertama diartikan sebagai sesuatu yang nyata.

    2.      Sebagai lawan atau kebalikan atas sesuatu yang tidak bermafaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat.

    3.      Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, makapengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti.

    Positivisme merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Dalam filsafat positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal pada fakta positif yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.[4]

    Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika, Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.[5]

    Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz SchlickRudolf CarnapOtto Neurath, dan A.J. AyerKarl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

    Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme , naturalisme, filsafat dan empirisme.[6]

    Dari berbagai pengertian yang dipapakar maka dapatlah kita simpulkan bahwa aliran positivisme ini sanagat mengagung-agungkan ilmu alam yang bisa dilihat dan dirasakan oleh indra maka aliran ini sangat menyingkirkan segala sesuatu yang berbau metafisik, maka orang-orang dalam aliran ini menganggap kejadian metafisik itu tidak disinggung sama sekali.

    B.     FILSAFAT POSITIVISME AGUSTE COMTE

    Auguste Comte memiliki beberapa pemikiran yang sangat berpengaruh dalam aliran filsafat postivisme, beberapa pemikirannya antara lain:[7]

    1.       Tiga Zaman Perkembangan Pemikiran Manusia

    Titik tolak ajaran Comte yang terkenal seperti telah disebutkan secara singkat di atas adalah tanggapannya atas perkembangan manusia, baik perorangan, maupun umat manusia secara keseluruhan, melalui tiga zaman. Menurutnya, perkembangan menurut tiga zaman atau tiga stadia ini merupakan hukum yang tetap. Disini akan dijelaskan tentang ketiga zaman tersebut secara lebih terperinci.

    a.      Zaman Teologis

    Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kekuasaan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari makhluk insani biasa. Zaman teologis ini sendiri dapat dibagi lagi menjadi tiga periode.[8] Ketiga periode tersebut adalah sebagai berikut:

    ·         Animisme. Tahap animisme ini merupakan tahapan yang paling primitif, karena benda-benda sendiri dianggapnya mempunyai jiwa.

    ·         Politeisme. Tahap ini merupakan perkembangan dari tahap pertama, dimana pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing-masing menguasai suatu lapang tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya.

    ·         Monoteisme. Tahap ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya. Karena pada tahap ini, manusia hanya percaya pada satu Tuhan saja.

    b.      Zaman Metafisis

    Pada zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti misalnya “kodrat” dan “penyebab”. Pada zaman ini metafisika dijunjung tinggi, dan abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab dan kekuatan alam semesta.

    c.       Zaman Positif

    Zaman ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dalam kehidupan manusia. Alasannya ialah karena pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan relasi-relasi atau hubungan-hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.[9]

    Hukum tiga zaman ini juga berlaku bagi pertumbuhan manusia. Sebagai anak, manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja ia masuk zaman metafisis, dan pada masa dewasa ia memasuki zaman positif. Demikian pula ilmu pengetahuan berkembang mengikuti ketiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman positif.[10]

    2.       Susunan Ilmu Pengetahuan

    Ilmu pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu memungkinkan bagi kita untuk melukiskan perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari di dalamnya. Jadi, gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu, baru kemudian disusul dengan gejala-gejala ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin rumit atu kompleks dan semakin kongkret. Urutan ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa sehingga yang satu selalu mengandalkan ilmu pengetahuan yang lahir sebelumnya. Dengan demikian, Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte adalah sebagai berikut:[11]

    ·         Ilmu Pasti (matematika)

    Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang tetap, abstrak, dan pasti. Dengan metode-metode yang dipergunakan, melalui ilmu pasti, kita akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu hukum ilmu pengetahuan alam dalam tingkat “kesederhanaan dan ketetapan” yang tertinggi, sebagaimana abstraksi yang dapat dilakukan akal manusia.

    ·         Ilmu Perbintangan (astronomi)

    Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu perbintangan dapat menyusun hukum-hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda langit. Ilmu perbintangan menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda langit seperti bintang, bumi, bulan, matahari, atau planet-planet lainnya.

    ·         Ilmu Alam (fisika)

    Ilmu alam merupakan ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala dunia anorganik. Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih kompleks, yang tidaka akan dapat difahami, tanpa terlebih dahulu memahami ilmu astronomi. Melalui pemahaman gejala-gejala fisika dan hukum fisika, maka akan dapat diramalkan dengan tepat semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu.

    ·         Ilmu Kimia (chemistry)

    Gejala-gejala dalam ilmu kimia lebih kompleks daripada ilmu alam, dan ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat (biologi) bahkan juga dengan  sosiologi. Pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak hanya melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).

    ·         Ilmu Hayat (fisiologi atau biologi)

    Ilmu hayat merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan. Gejala-gejala dalam ilmu hayat ini mengalami perubahan yang cepat dan perkembangannya belum sampai pada tahap positif pada saat itu. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu alam, dan ilmu kimia yang telah berada pada tahap positif. karena sifatnya yang kompleks, maka cara pendekatannya membutuhkan alat yang lebih lengkap.

    ·         Fisika Sosial (sosiologi)

    Fisika Sosial (sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika sosial sebagai ilmu berhadapan dengan gejala-gejala yang paling kompleks, paling kongkret dan khusus, yaitu gejala yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkelompok. Jadi, sosiologi merupakan puncak dan pengahbisan untuk usaha manusia seluruhnya. Sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu Comte beranggapan bahwa selaku “pencipta” sosiologi, ia mengantar ilmu penhetahuan masuk ke taraf positifnya. Dengan demikian, dalam merancang sosiologi, Comte mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.[12]

    C.    METODE POSITIVISME

    Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang fositif. Mengenyampingkan segala uraian atau persoalan yang ada sebagai fakta, oleh karna itu ia menolak apa yang berkaitan dengan metafisik, apa yang diketahui secara fositif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuandibatasi kepada bidang-bidang gejala saja.[13]

    Menurut Aguste Comte bahwa indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat eksperimen, sedangkan eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas, misalnya panas diukur dengan drajat panas, jauh diukur dengan meter, berat diukur dengan kilo, dan sebagainya. Jadi kita cukup mengatakan api itu panas, matahari panas, kopi panas, dan tidak cukup mengatakan panas sekali atau tidak panas. Namun kita memerlukan ukuran yang teliti secara ilmiah.

    Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi. Kita mengobservasi fakta, dan kalimat yang penuh tautologi hanyalah pekerjaan sia-sia. Tindak mengamati sekaligus menghubungkan dengan sesuatu hukum yang hipotethik, diperbolehkan oleh Comte. Ini merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum, dan merupakan lingkaran tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte. Suatu proses reguler fenomena dapat diintervensi dengan sesuatu lain tertentu. Metode yang ketiga adalah komparasi. Untuk hal-hal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi, metode penelitian yang terbaik adalah komparasi. [14]

    D.    PEMIKIRAN AGUSTE COMTE TENTANG KAJIAN EPISTEMOLOGI, ONTOLOGI DAN AKSIOLOGI

    1.      Kajian aspek epistemologi pemikiran Comte

    Comte melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi, layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan argumentasinya tentang ilmu pengetahuan positif pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus  melakukan uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar yaitu Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan  penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.

    Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positif itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisme simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.

    2.      Kajian aspek ontologi pemikiran Comte

    Tiga hal yang menjadi ciri pengetahuan   yang  dibangun, yaitu: 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum  itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.

    Dalam pengembangannya keyakinan Comte ini  dinamakannya positivisme. Positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha mengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan- penjelasannya spekulatif (metafisika).

    3.      Kajian aspek aksiologi pemikiran Comte

    Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tigastadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte. Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif  yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian.

    Comte percaya bahwa humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan social, pentingnya keakraban menyatukan dan mempererat anggota keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan  terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.

    Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan sosial, dimana nilai-nilai kultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat.[15]

    BAB III

    PENUTUP

    A.    SIMPULAN

    Positivisme adalah aliran filsafat yang bersumber pada sesuatu yang nyata berupa fakta yang dapat dibuktikan oleh indera dan logika-logika yang positif, dan bersifat objektif. Aliran ini mengesampingkan metafika atau sesuatu bersifat subyektif. Positivisme bukanlah suatu aliran baru dalam filsafat, tetapi hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Artinya, positivism ini menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan pentingnya penelitian-penelitian dan ukuran.

    Dalam kaitannya dengan social positivism merupakan doktrin Comte yang menjadi pondasi strategi rekonstruksi masyarakat. Bagi Comte sosiologi merupkan puncak perkembangan positivism dan mejadi penguasa dari ilmu-ilmu social, sehingga sosiologi positive diharapkan mampu menjadi kunci kemajuan social di masa depan.

    Puncak dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Comte dalam falsafahnya tentang hidup  manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologi.

     

    B.     SARAN

    Kami menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas lagi tentang Positivisme Auguste Comte yang belum dapat kami bahas pada makalah ini. Demikian yang kami uraikan pada makalah ini, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini pasti banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.

    DAFTAR PUSTAKA

    Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, 2010, (Jakarta: PT Rineka Cipta).

    Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, 2004,  (Bandung PT Remaja Rosda Karya).

    Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet.ke 1, 2001, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

    Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 2004, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA).

    abdullahqiso.blogspot.com/2013/12/positivisme-august-comte.html.05/11/214/09:18


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger

Cari Blog Ini